Tatkala Bisyir al-Marrisi (seorang tokoh Mu’tazilah) meninggal dunia, tidak ada seorang alim pun yang ikut mengurusi jenazahnya kecuali Ubaid asy-Syuwainizi. Sepulangnya dari jenazah, orang-orang mencercanya karena kehadirannya, lalu dia berkata, “Tunggu dulu, akan saya beritakan ceritanya. Sungguh, tidak ada suatu amalan pun yang lebih saya harapkan pahalanya daripada saat aku menyaksikan jenazah Bisyir. Tatkala aku berdiri di shaf, aku berdo’a:
Ya Allah, sesungguhnya hamba-Mu ini, dia tidak beriman adanya ru’yah (melihat Allah) di akhirat, maka janganlah Engkau beri dia nikmat melihat wajah-Mu di saat kaum mukminin semua melihat-Mu.
Ya Allah, sesungguhnya hamba-Mu ini, dia tidak beriman adanya siksa kubur, maka siksalah dia di kuburnya dengan siksaan yang tidak Engkau berikan kepada seorang pun di alam semesta.
Ya Allah, sesungguhnya hamba-Mu ini, dia mengingkari mizan (timbangan), maka ringankanlah timbangan-Nya di hari Kiamat.
Ya Allah, sesungguhnya hamba-Mu ini, dia mengingkari syafa’at, maka janganlah Engkau memberinya syafa’at pada hari Kiamat.” (Akhbar Zhiraf wal Mutamajinin hlm. 65-66 oleh Ibnul Jauzi)
Dalam kisah terdapat faedah tentang hajr (memboikot) ahli bid’ah, dan anjuran untuk tatsabbut (cek terlebih dahulu) sebelum menyalahkan orang lain, dan bahwasanya orang yang mengingkari sesuatu yang pasti, maka bukan perkara mustahil dia akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan perbuatannya.
Dikutip dari Majalah al Furqon Edisi 5 Tahun keduabelas, Muharram 1434, Hal.54
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !